Sumber : Bpost
Ketika pelajaran berlangsung, biasanya siswa kurang bersemangat dan cenderung berbicara antarsesamanya.
Oleh: Rasyid Ridho
Sekretaris Yayasan Ukhuwah Banjarmasin
Menjadi seorang guru ternyata tidak semudah dibayangkan. Banyak hal yang harus dilakukan guru, apalagi perannya sebagai pendidik yang mencetak generasi penerus bangsa. Jika sang guru salah cetak sedikit saja, maka output yang dihasilkan bisa-bisa bukan memajukan bangsa. Tetapi malah menggerogoti kekayaan alam negeri akibat salah jalan.
Selain menangani anak didik, guru harus direpotkan oleh berbagai administrasi atribut pengajaran yang membuatnya berpikir keras bagaimana caranya agar pelajaran yang disampaikan dapat ditangkap dengan tepat dan cepat dicerna oleh siswa yang menjadi anak didiknya.
Belum cukup di situ, setelah selesai memberikan pelajaran kepada siswanya guru juga terus melakukan evaluasi terhadap metode atau penyampaian yang telah dilakukannya: apakah sudah tepat atau belum. Terpenting, guru jenis itu akan berupaya menciptakan kreasi baru dalam pengajaran agar suasana belajar tidak terasa seperti belajar tetapi menyenangkan dan membuat siswa enjoy.
Ketika proses belajar mengajar tengah berlangsung, guru seperti itu akan berusaha semaksimal mungkin melibatkan seluruh siswa untuk aktif dalam pembelajaran. Maka, dalam proses hingga mencapai akhir tujuan dari indikator yang ingin dicapai, siswa yang menemukan jawabannya melalui metode yang diciptakan. Si guru di sini hanya berperan sebagai sutradara, atau pengarah yang membimbing siswa untuk mencapai tujuan. Dengan demikian, siswa pun selalu merindukan sang guru jika dia tidak mengajar.
Kenapa demikian, karena siswa selalu tidak merasa diajar tetapi merasa perlu belajar. Siswa juga merasa belajar adalah kebutuhan masa depannya. Karena, secara tidak langsung guru seperti itu membentuk karakter siswa dalam setiap pembelajaran. Seperti kerjasama, kemandirian, melatih menganalissi, ketelitian dan sebagainya.
Itu yang disebut dengan seorang guru impian, atau dikenal dengan dreaming teacher. Dalam istilah Bobby de Porter, adalah Quantum Teacher yang mampu menyatukan berbagai dimensi kelebihan untuk dimaksimalkan sehingga ketika proses belajar mengajar berlangsung dunia guru dan dunia anak jadi menyatu. Seolah, di sana tidak ada sekat antara guru dan siswa. Jadi, yang ada hanya bagaimana agar masing-masing potensi meraih prestasi terbaik dalam setiap waktu yang tersedia.
Beginilah seharusnya seorang guru, seorang pendidik yang sekaligus berperan sebagai arsitek pencetak generasi unggul.
Tetapi, di balik dreaming teacher ada sosok guru yang mengajar seadanya. Cukup bermodal sebuah buku paket, masuk kerja hanya menunaikan kewajiban mengajar. Kemudian saat musim ulangan tiba, melaksanakan ulangan dari materi yang telah diberikan dan melaporkan hasilnya ke bagian kesiswaan. Hasil yang didapat, nilai siswa yang ini rendah dan yang itu tinggi.
Ketika pelajaran berlangsung, biasanya siswa kurang bersemangat dan cenderung berbicara antarsesamanya. Akibatnya, guru jenis itu marah dan menyalahkan bahkan memarahi siswa karena tidak memperhatikan penjelasan yang tengah dipaparkan. Padahal siswa tidak salah, karena memang cara mengajar guru seperti itu tidak menarik.
Tetapi, ketika berbicara tentang kesejahteraan mungkin dia akan maju ke depan dan merasa penghasilan yang diterima untuk seorang guru masih belum memadai. Seharusnya, guru diberi penghargaan yang lebih dan pemerintah harus segera merealisasi anggaran 20 persen untuk pendidikan. Tetapi, jika kualitas dan profesionalitas belum dipenuhi apa tidak malu menerima gaji besar?
Semestinya kita mengukur kemampuan kita selama ini, jika dibayar sekian apa saya pantas digaji sedemikian besar? Kalau saya dibayar besar oleh pemerintah atau instansi tempat saya mengajar, apa sudah pas dengan kinerja saya selama ini? Pertanyaan seperti itu seharusnya ada dalam benak setiap kita, walau tanpa dipungkiri materi memang diperlukan untuk mencukupi kehidupan sehari-hari. Jika ada guru seperti contoh kedua (mudahan tidak ada), saya menyebutnya dengan dreamer teacher (guru pemimpi).
Bermimpi untuk mencapai sesuatu seperti penghasilan tinggi sah-sah saja, tidak ada yang melarang. Namun sebelum bermimpi, kita harus mengukur kemampuan kita: apakah mampu mencapai mimpi itu. Lebih bagus adalah membuat mimpi dan terus meningkatkan kualifikasi diri untuk mencapai mimpi itu!
Sekarang kepada pendidik bangsa, do you wanna be a dreaming teacher or a dreamer teacher? Wallahu a’lam.
e-mail: rasyid_ridho12@yahoo.comAlamat e-mail ini telah diblok oleh spam bots, Anda membutuhkan Javascript untuk melihatnya
Tuesday, December 11, 2007
Guru Impian Vs Guru Pemimpi
Posted by komenggg at 3:38 PM
Labels: Artikel, Pendidikan
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
About Me
Archive
-
▼
2007
(149)
-
▼
December
(24)
- mIRC 6.31
- Investigasi Surya: Siapa membakar pasar turi?
- Awas, Iklan Google Ditunggangi Trojan
- Lyric Yovie and Nuno Menjaga Hati
- Idul Adha Natal 2007 Banjarmasin Masih Byarpet
- English Please
- Jangan Nelpon Pacar didekat Toilet
- Dikacangin
- Guru Impian Vs Guru Pemimpi
- Sertifikat Pelaut
- NISN NUPTK NPSN
- Tanya ISP yang bagus?
- Esnips Download Authority
- Periksa Box Sebelum Pulang
- eggheads DOWN
- 4 Day, Back to ORBIT
- Motor Jadul
- Haruskah Pakai Nota?
- Final Fantasy 7
- Cek Tagihan ALT (Air Listrik Telpon)
- N0 Smok4ng
- 3rd day
- Anomali Datang Bulan
- Starone keluar ORBIT
-
▼
December
(24)
Label Cloud
... karena BLOG JUGA ADALAH KARYA CIPTA. Biasakan untuk meminta ijin kepada pemilik karya atau paling tidak menyebutkan sumber asal. Hitung-hitung bersilaturahmi dan memperluas pergaulan, bukan?
Semua unsur blog ini, termasuk gambar, foto, tulisan dan lainnya berada di bawah aturan Creative Common License, kecuali disebutkan sebaliknya.
Valid XHTML & CSS - Original Artwork by Raul Silva
No comments:
Post a Comment